Pairing: ErzaxJellal
Genre: Romance
Rate: T
Lenght: Oneshot
Dislaimer: Fairy Tail belongs to Hiro Mashima
Warning: Mainstream, konflik nggak jelas,
A/N: Fanfic ini hanya keisengan author saking merindunya
pada jerza, jika di awal membaca sudah merasa sakit kepala karena saking
flat-nya, kebijakan di tangan readers ^^
--Happy Reading--
Masa SMA, seharusnya masa tersebut dihiasi dengan
cahaya-cahaya persahabatan, ketenaran, juga cinta. Aku memang memiliki cahaya
persahabatan itu. Ketenaran? Yah, lumayan lah untuk ukuran satu kelas dan kelas
tetangga, tapi aku tak mengharapkan ketenaran itu. Cinta? Entahlah,
bayang-bayang masalalu terus menghantuiku, apakah aku bisa berpaling darinya?
Semua sudah berakhir dan sudah jelas, untuk apa masih berharap. Dia sudah
menemukan kebahagiaannya bersama kekasih baru, kekasih yang sangat
mencintainya. Egois memang jika aku mengatakan akulah gadis yang paling mencintainya.
Itu dulu, sekarang tidak. Hatiku sudah menjadi bongkahan es yang sangat keras,
kujalani masa SMA ini bersama para sahabatku, walaupun ada dia yang lagi-lagi
satu sekolah denganku, juga kekasihnya. Oke, aku tidak akan merasa sesak atau
nyeri di dada, karena hatiku sudah menjadi es.
“Erza, makan yuk” ajak Lucy, sahabatku. Aku hanya menggeleng
tak berselera, asyik membaca novel baruku. Lagipula aku juga lupa membawa
bekal.
“Eh, jangan begitu. Aku membawa kue buatanku sendiri lho.”
Oh Mira, kau memang paling mengerti aku. Tapi hari ini aku memang tidak
berselera. Kubalas dengan gelengan. Ekspresi kecewa mereka terukir jelas. Tapi
mereka sepertinya tidak menyerah, membawa pasukan yang lain, menyeretku begitu
saja hingga novelku terjatuh di kursiku.
“Heee apa-apaan ini?”, aku memberontak melepaskan diri. Tapi
Cana dan Bisca mencengkram kedua lenganku dengan kuat. Mira dan Lucy hanya
tersenyum tanpa menolongku, diikuti Wendy yang baru datang di samping Mira.
Yah, cara yang terbaik memang menuruti mereka, agar mereka
senang. Tapi hari ini aku memang tak berselera. Tidak hari ini saja, tapi
akhir-akhir ini memang tidak berselera. Kadang aku sengaja meninggalkan bekal
yang sudah disiapkan Mama, tapi hari ini memang lupa sih, hehe.
Kami berjalan di lorong sekolah yang sudah ramai oleh
siswa-siswi. Mereka asyik mengobrol seperti biasa, ada yang sedan perjalanan ke
kantin lah, ada yang ke ruang guru lah, ada yang kemana lah entah. Apa
peduliku? Tapi sering para siswa ataupun siswi kelas lain ada yang menyapaku
ketika aku melewati lorong sekolah, aku hanya bisa membalas dengan senyuman
terbaikku. Terbaik? Kurasa tidak, senyum pura-pura.
Cana dan Bisca sudah tidak mencengkramku, aku bisa berjalan
dengan nyaman, tapi mereka tetap berada di kanan-kiriku. Ah sudahlah, sudah
terlanjur berjalan sampai sini pula.
Astaga! Mataku menangkap dua sosok yang tak ingin kulihat.
Sepasang kekasih yang paling kubenci. Lihatlah, gadisnya menggelayut manja di lengannya.
Sang pria....ah sudah! Aku tak ingin menjelaskan tingkah ataupun ekspresi pria
itu. Karena aku sudah terlanjur MEMBENCINYA!!
Aku terus berjalan dan menatap lurus ke depan, pura-pura
tidak melihat kedua pasangan tersebut, hingga akhirnya sukses melintasiku.
Fiuh, menghilang juga mereka. Eh? Kenapa Mira dan Lucy sedikit menoleh ke
belakang? Menatapku dengan iba?
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanyaku dengan tatapan
tajam. Lalu mereka kembali menghadap ke depan.
“Ah tidak, ayo ke halaman belakang!” seru Lucy dengan penuh
semangat, mengalihkan pembicaraan. Baguslah! Tidak perlu dibahas yang barusan.
Halaman belakang sekolah, tepatnya di bawah pohon besar yang
rindang adalah tempat favorit kami untuk menyantap bekal. Hah...suasana hatiku
memang lebih baik ketika bersandar di bawah pohon ini. Tidak, tidak hanya pohon
ini, aku selalu merasa lebih baik jika berada di bawah pohon. Menikmati
rindangnya bentuk-bentuk dedaunan, memandang sepasang burung yang bertengger
dan berkicau dengan merdunya. Rasanya nyaman sekali, dulu ketika bersamanya
juga kami sering menghabiskan waktu di bawah pohon. Sekarang? Ah itu hanya
masalalu, aku tak ingin membahasnya.
“Eh kalian tau? Senpai kapten tim basket keren banget” Lucy
bercerita ceria sekali, mengagumi kakak senior tim basket.
“He benarkah? Siapa namanya?” Bisca antusias menimpali pembicaraan
Lucy.
“Hibiki-senpai. Dia seperti model saja, keren
banget!”
“Wah wah Lucy, Natsu dikemanain” sahut Mira dengan senyum
cantiknya.
“Astaga! Kami hanya berteman” Lucy berusaha menjelaskan
status pertemanannya dengan Natsu, Mira hanya cekikikan bisa menggoda Lucy,
“Kira-kira Hibiki-senpai sudah punya kekasih belum ya? Hm hm hm...” sambung
Lucy disertai senandung. Aku hanya diam menikmati keindahan pohon ini, namun
telingaku menyimak.
“Mana mau dia denganmu, waahahaha!” ejek Cana disertai
tertawa lepas, dia mengejek sampai terpingkal-pingkal sendiri begitu? Mira dan
Lucy ikut tertawa kecil, begitupula Bisca. Lucy memberengut sebal diejek,
bibirnya mengerucut dan dahinya mengerut. Aku juga ingin ikut tertawa, namun
hanya seulas senyum yang kuperlihatkan.
“Hei Mira, akhir-akhir ini aku melihat kau didekati Laxus-senpai
kan? Fufufu” kali ini Mira yang dijadikan pelampiasan Lucy. Mira didekati? Aku
baru tahu hal itu.
“HEEEEE?! Benarkah itu?” lihatlah, ternyata tidak hanya aku
saja yang baru tahu, teman-teman pun sama saja.
“Ah, kau ini ada-ada saja Lucy.” Ucap Mira dengan malu-malu,
menyentuh kedua pipinya sambil menggeleng-geleng pelan, mukanya sedikit
merah.”Entahlah, apa yang diinginkan pria itu”
“Ah, sudah pasti dia menyukaimu.” Goda Lucy sambil
menyenggol-nyenggol lengan Mira.
Begitulah, mereka berempat menggoda Mira habis-habisan, lalu
ganti menggoda Wendy, dan seterusnya. Aku hanya bisa tersenyum, sepertinya
topik pembicaraan ini tak cocok denganku. Aku bangkit dari posisi dudukku.
Mereka menoleh ke arahku, bingung.
“Aku kembali ke kelas dulu” ucapku lalu melangkah
meninggalkan mereka yang masih terbengong, baguslah mereka tak mencegahku.
Sayup-sayup kudengar Cana mengomeli Lucy,”Dasar Baka! Kenapa memilih topik
itu?”
“Huee gomeeen. Kalian juga ikut-ikutan, kan.”
Haha, sudahlah. Itu bukan salah Lucy. Kalian memang sedang
merasakan indahnya kisah cinta masa SMA, aku tak ingin mengganggu kebahagiaan
kalian. Kisahku terlalu menyedihkan, hatiku sudah menjadi es.
Aku menyusuri lorong sekolah seorang diri. Sesekali
orang-orang yang di tepi lorong melirik ke arahku, menyapaku dengan ramah,baik
itu pria maupun wanita. Aku pun hanya membalas dengan senyuman dan mengangkat
tanganku seakan melambai. Celakanya! Tak disangka-sangka, ketika aku sedang
membalas sapaan salah satu kerumunan pria, tiba-tiba dia lewat di hadapanku.
Aku tak menyadarinya, baru menyadari ketika dia berhenti di depanku. Wajahku
pun berubah menjadi dingin tanpa senyuman. Buat apa dia berhenti di depanku?
“Sebaiknya kau segera mencari kekasih daripada harus
mengumbar senyummu pada mereka” dia mengejekku atau menghinaku? Wajahnya kenapa
dingin begitu? Aku pun tak kalah dingin dan menunjukkan tatapan tajamku,
tatapan kebencian, lalu melenggang pergi. Buat apa dia bicara seperti itu?
Menginaku? Mentang-mentang dia sudah punya kekasih tak sepatutnya dia bicara
seperti itu padaku. Siapa dia? Dia tak punya hak mengatakan itu. Aku pun
menyusuri lorong dengan mendengus sebal. Ah, sial! Kenapa aku harus bertemu
dengan pria tak setia itu dua kali, DUA KALI!!
Pelajaran kembali berlangsung. Entah mengapa tubuhku terasa
lemas, suhu tubuhku terasa panas, perutku terasa nyeri. Tidak enak badan
mendadak. Aku baru sadar kalau akhir-akhir ini jarang makan. Tadi malam
makananku tak kusentuh, sibuk membaca novel-novel yang baru kubeli. Pagi juga
aku tak sarapan, dan siang tadi aku tak menyentuh kue buatan Mira, hanya
meminum sedikit teh dingin buatannya. Setelah itu aku kembali ke kelas dan
melanjutkan membaca novel. Sekarang apalagi? Kepalaku berdenyut, sakit sekali.
Kupijat kepalaku pelan-pelan, nyaman, tapi tetap saja sakit. Mungkin aku harus
istirahat sebentar saja. Sensei, maaf aku harus tidur di pelajaranmu. Aku pun
meletakkan kepalaku di meja. Dan, tertidur.
“Erza”
“Erza”
“rza”
“ za”
“zaa”
“ng?”, aku menggeliat. Ada yang memanggilku? Kurasakan
tubuhku ada yang mengguncang-guncang. Kubuka mataku perlahan. Lucy?
“Kau ketiduran? Pelajaran sudah berlalu. Ayo pulang!”
Aku mengangkat kepalaku kaget, mendongak ke atas menatap jam
dinding di depan kelas. Benar! Sudah sore.
“Kok bengong? Ayo pulang.”, ajak Lucy, teman-temanku sudah
mengerumuniku. Aku mencoba bangkit.Aw... sakit sekali perutku, kepalaku juga,
berat sekali. Mereka tidak boleh tau, bisa-bisa mereka akan khawatir.
“Ah, aku masih ada piket. Kalian duluan saja”
“Hm? Piket? Yasudahlah. Kami duluan ya”, bagus Lucy percaya.
“Bye Erza” aku hanya membalas lambaian tangan ke mereka.
Fiuh, akhirnya...
Aku menghela napas lega. Sekarang ganti mengatasi tubuhku.
Bagaimana aku bisa pulang? Berjalan ke stasiun dengan tubuh seperti ini? Lebih
baik aku menelepon Mama, minta dijemput. Kurogoh isi tasku. Eh? Kemana
ponselku? Masak aku lupa membawanya? Hah...yasudahlah, sepertinya nasibku hari
ini memang tidak beruntung. Kuseret saja tubuhku keluar kelas. Aku berjalan gontai
menyusuri lorong sekolah yang sudah sepi. Kepalaku terasa semakin berat, mataku
mulai berkunang-kunang, napasku terasa panas. Sudah jelas aku demam. Perutku
juga sakit sekali, mungkin aku kena maag. Kupaksakan tetap melangkah. Aku sudah
berjalan lumayan jauh, tapi kali ini kepalaku benar-benar berat, perutku perih
sekali, aku tak tahan. Aku bersender di dinding sambil memegangi pelipisku,
kalau sampai aku pingsan di sini bisa gawat. Tidak tidak, aku harus tetap
melangkah. Tidak memedulikan langkahku, aku berjalan menunduk untuk menahan
rasa sakit kepala ini. Tapi tiba-tiba....
GREP!
Eh? Apa ini? serasa disambar elang, tubuhku sudah tertahan
menempel dinding. Kudongakkan kepalaku ke atas, walaupun mataku
berkunang-kunang aku masih bisa mengenali siapa sosok di depanku ini. DIA?!!
Tap! Tap! Tap!
Gedebuk! Gedebuk! Gedebuk!
Wush!
Angin baru saja lewat, ternyata angin tersebut dibawa oleh
rombongan pelari. Kalau aku tidak salah lihat, Klub karate baru saja lewat
dengan berlari begitu cepat. Mereka lari-larian di lorong? Mungkin baru saja
ganti pakaian hendak berlatih.
Pikiranku kembali fokus ke orang di depanku. Orang yang
sudah merengkuhku, membawaku ke tepi dan menabrak dinding. Setelah melihat ke
arah dimana orang-orang karate melintas dan menghilang, ia menoleh ke arahku
dengan tatapan tajam.
“Tak bisakah kau memerhatikan langkahmu? Kau mau tertabrak
orang-orang itu?” Astaga! Dia memarahiku? Lagi-lagi....apa sih maunya. Aku
menghempaskan kedua tangan yang mengunci tubuhku, kedua tangan yang ditahan di
dinding, kedua tangan yang menopang tubuhnya agar tidak terjatuh menimpaku.
“APA PEDULIMU?!” ucapku ketus, setengah berteriak dengan
tatapan benci. Lalu melenggang meninggalkannya, dengan kaki setengah
terseok-seok, berusaha menutupi rasa sakit ini. apa pula haknya marah-marah
seperti itu padaku. Memang aku kekasihnya? Bukan lagi. Urus saja kekasih barumu
itu. Kurang ajar sekali masih berani mengajakku bicara setelah apa yang dia
lakukan padaku. Aku berjalan dengan dongkol, melupakan rasa sakit di kepalaku.
Akhirnya aku berhasil keluar dari gedung sekolah. Akibat
dari kemarahanku karenanya, kepalaku kembali sakit bercampur rasa pegal karena
terus mengerutkan dahi. Aku menghentikan langkahku, kembali memegangi
pelipisku.
“Kau sakit?” suara yang sangat familiar di telingaku, bahkan
saking familiarnya membuatku terkejut. Aku mendongak, DIA LAGI??! Apa dia
mengikutiku? Kenapa aku tak mendengar suara langkahnya? Mungkin karena sakit
fungsi inderaku sedikit menurun.
Aku mengabaikannya, kembali melangkahkan kakiku lebar-lebar
agar bisa segera menjauh darinya. Baru tiga langkah pergelangan tanganku
dicengkramnya, membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arahnya.
“Apa maumu?!” kali ini aku sedikit membentak dengan suara
lirih. Membentak? Lemas sekali tak ada energi.
“JAWAB PERTANYAANKU!!”, astaga! Dia malah membentakku?
Kenapa dia jadi pemarah seperti ini? Harusnya aku yang marah. “Apa kau sakit?”,
kali ini suaranya melembut. Apa yang salah dengannya? Aku menghirup napas
dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan untuk bisa berteriak,“BUKAN URUSANMU!!”
Walaupun kucoba untuk menghempaskan tangannya, cengkramannya
begitu kuat, tak mau lepas. Apa sih maunya? Kugunakan tanganku yang satunya
untuk melepaskan cengkramannya, tapi hasilnya nihil. Kuat sekali genggamannya!
Aku sampai meringis kesakitan, tapi berusaha kututupi. Aku tak ingin terihat
lemah di hadapannya,”LEPASKAN!”berontakku. Kumohon, lepaskan aku. Aku ingin
pulang.
“Jellal” tiba-tiba suara seorang gadis terdengar, kami
berdua menoleh ke sumber suara. Ck, kekasihnya. Cengkramannya mulai melemah,
langsung saja kutarik tanganku dan berhasil. Aku melangkah pergi meninggalkan
mereka. Bagus! Dia tak bisa berkutik di depan kekasihnya. Tapi kenapa dengannya
hari ini? Kenapa muncul tiga kali atau sudah empat kali sekalian di halaman
sekolah barusan? Kenapa baru hari ini dia mendekatiku dan mengajakku bicara?
Kemana saja dia tiga bulan? Hanya mendiamkanku saja. Tak puaskah dia
menyakitiku? Tak puaskah dia mengkhianatiku? Dan sekarang membentakku? Dia
bukanlah pria periang yang dulu kukenal, wajahnya sekarang begitu dingin. Atau
hanya perasaanku saja?
Tak kusangka memikirkan pria aneh itu berhasil menuntunku menjauh
dari sekolah. Begitu aku menyadari langkahku sudah sejauh ini, kepalaku kembali
terasa berat, perutku terasa perih, sakit sekali. Aku kembali memegangi
pelipisku, memijat-mijatnya, tangan satunya memegangi perutku, dan tubuhku
kusenderkan pada pagar-pagar jalanan,
menyeret kakiku agar tetap berjalan. Mataku kembali berkunang-kunang tak dapat
melihat dengan jelas, langkahku terhenti. Sial, stasiun masih jauh. Semakin
berat, dan semakin sakit. Apakah ini akhir dari perjalananku?
“Oh, jika aku harus tergeletak tak sadarkan diri disini,
semoga Mama atau orang yang mengenaliku menemukanku.” Gumamku sekaligus berdoa.
Aku sudah tak sanggup lagi berjalan. Tubuhku mulai roboh dan...
GREP!
“Tak perlu berdoa seperti itu”
Tuhan! Apa Engkau telah mengirimkan malaikat untuk
menjemputku sekarang? Aku tak bisa melihatnya dengan jelas, tapi aku merasakan
suatu kehangatan dan kenyamanan berada di pelukannya. Pelukan? Eh, apa?! Aku
merasa kesadaranku masih tersisa. Kupaksakan mataku untuk terbuka selebar yang
kubisa. Masih remang-remang, tak jelas. Apa sebaiknya aku menutup mataku dan
meninggalkan sisa-sisa kesadaran ini? Dan membiarkan malaikat ini membawaku ke
surga atau entah kemana...
Kehangatan ini, aku pernah merasakannya. Rasanya familiar
sekali, begitu dekat di hatiku. Tiba-tiba terlintas di benakku seseorang yang
kurindukan,“Jellal...” gumamku lirih seperti berbisik, mungkin tak terdengar
olehnya. Entah mengapa aku bergumam seperti itu, dan kenapa tiba-tiba aku
merindukannya. Masih tak bisa melihat dengan jelas, aku bisa merasa malaikat ini sangatlah
tampan.
“Lebih baik kau pingsan saja, Nona” haha, menyuruhku untuk
pingsan? Rasanya aku tak ingin kehilangan kesadaran ini, ingin melihat seperti
apa wajah malaikat yang secara khusus dikirimkan Tuhan padaku. “Kau...malaikat
yang tampan”, gumamku padanya dengan suara yang lirih dan menyunggingkan
senyuman padanya menggunakan sisa-sisa kesadaranku, dan pada akhirnya semuanya
gelap.
“Jellal, kau tidak
pulang, Nak? Ini sudah malam.”
Jellal? Ini seperti suara Mama. Kubuka mataku perlahan,
masih kabur. Kukerjapkan berulang kali, sudah lumayan agak jelas. Langit-langit
ini bukan langit-langit kamarku. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling, semuanya
serba putih, tirainya juga, ini bukan ruangan kamarku. Aku ada dimana?
“Erza?” suara ini, suara yang sangat kukenal. Aku menoleh ke
samping, mataku langsung terbelalak lebar-lebar. Dia? Sedang apa dia disini?
Kenapa dia menggenggam tanganku? Tubuhku berat sekali, sulit digerakkan,
meskipun jemariku bisa digerakkan, jemari yang digenggamnya.
“Jangan banyak bergerak dulu” perintahnya, dengan suara
lembut. Dia menyadari aku berusaha menggerakkan tubuhku. Sebentar, aku ingin
memarahinya,“Sedang apa kau disini?” Memarahi? Memarahi dengan suara selemah
ini? Astaga! Kemana suara lantangku?
“Erza, Jellal yang membawamu kemari, Sayang” ucap Mamaku,
memberi penjelasan. Membawaku? Bukankah yang membawaku...
“Aku senang kau memanggilku malaikat yang tampan”, he? Apa?
Malaikat yang tampan? Aku tersentak kaget. Lalu berusaha menarik tanganku dari
genggamannya, menoleh ke arah lain.“Pergi!”
Yah, hari ini aku tak boleh sekolah. Aku bosan di rumah
sakit. Harus berbaring terus, tak boleh membaca novel. Hah, bosan sekali.
Kukira hanya demam biasa. Dokter mengatakan bisa saja gejala typus, dan aku
harus menginap beberapa hari di sini. Tapi sampai kapan?
Sorenya, teman-temanku datang menengok. Wah, aku senang
sekali, sekaligus tidak enak pada mereka, harus mengetahui kalau aku sakit.
Lucy sampai menangis bombay, Cana mencibir Lucy yang terlalu berlebihan. Mira,
Wendy, dan Bisca hanya bisa tertawa melihat kekonyolan mereka berdua. Aku juga
ikut tertawa. Syukurlah mereka datang, bisa menghilangkan rasa bosanku.
“Oh ya Erza, kau boleh makan kue kan? Kami membawakanmu strawberry
cheesecake dari toko langganamu, kesukaanmu.”
Lucy mengeluarkan tas berisi kue favoritku. “Wah, aku sudah
rindu padanya, ternyata kalian yang membawakannya.”
Teman-temanku memasang wajah bingung. “Padanya?” mereka
kompak mengucapkannya, dan saling menatap. Ada apa dengan mereka? Kenapa heran?
“Erza, k-kau rindu pada J-Jellal?” tanya Lucy dengan
terbata-bata. Aku mengernyitan dahi sekaligus menatap tak suka nama itu
disebut-sebut. Kenapa jadi Jellal?
Cana dan Mira langsung menutup mulut Lucy, lalu mereka semua
tersenyum padaku, seperti menyembunyikan sesuatu.
“Apa yang kalian sembunyikan dariku?” tanyaku penuh selidik.
“Eh? Tidak ada, Erza-san” jawab Wendy mewakili yang lainnya.
Aku tak percaya, aku terus mendesak mereka, dan akhirnya mereka mengakui bahwa cheesecake
itu dari dia. Dia yang memberitahu teman-temanku kalau aku sedang opname,
lantas menitipkan makanan favoritku pada mereka. Astaga! Apa maunya sebenarnya?
Tidak cukup puaskah dia menyakitiku? Lalu aku meminta untuk menyingkirkan kue
tersebut.
“Tapi Erza, hari ini dia sungguh berbeda” ucap Lucy berusaha
mencegahku agar tidak menyuruh membuang kue dari dia. Aku tidak mau dengar
lagi.
“Tidak hanya dia, tapi juga kekasihnya”, Wendy ikut
menambahkan. Apa? Kekasihnya? Ada apa dengan kekasihnya?
“Kami tak sengaja melihat mereka berdua mengobrol serius.
Entahlah, tapi wajah Jellal terlihat dingin, dan wajah kekasihnya terlihat
sedih sekali.” Jelas Lucy.
Apa? Apa mereka bertengkar? Bukankah gadis itu tidak pernah
terlihat bersedih? Malah sering terlihat menyeringai licik ketika melihatku.
Ada apa dengan dia? Apa dia memarahi gadisnya, sama sepertiku kemarin? Kenapa
dia berubah jadi pemarah seperti itu?
Aku tak menemukan jawabannya. Teman-temanku sudah pulang daritadi
dan tak tahu-menahu soal apa yang terjadi antara dia dan kekasihnya. Ada apa
sebenarnya? Ah sudahlah, itu bukan urusanku. Apa peduliku?
Tok...tok...tok...!
Ada yang mengetuk pintu. Siapa? Kalau Mama dan Papa
sepertinya tidak mungkin. Mereka tak perlu mengetuk pintu, bukan? Suster? Belum
jadwalnya.“Masuk”
Pintu terbuka perlahan. Seorang gadis berambut hitam
menyembul dari balik pintu, seketika mataku membulat sempurna.“Ultear?” suaraku
tercekat ketika mengucapkannya. Untuk apa gadis ini kesini? Mau melabrakku kah?
“Erza”, panggilnya lirih, wajahnya terlihat sendu. Ada apa
dia? “Aku ingin menyampaikan sesuatu”
Aku dan Ultear sedang berada di bangku taman rumah sakit.
Tak memedulikan udara dingin yang menusuk kulit hingga tulangku, suasananya
sudah menegang. Kuharap dia segera cepat bicara, aku tak ingin berlama-lama
dengan wanita ini.
“Erza, mungkin kau tak akan pernah memaafkanku.” Dia
menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Lalu melanjutkan
kata-katanya. “Gray menyadarkanku akan kesalahan besar yang telah kuperbuat.”
Gray? Kenapa dengan Gray? Setahuku Gray pernah menyukai
Ultear, tapi Ultear mungkin sudah dibutakan oleh cintanya kepada DIA! Kalian
tahu sendiri, aku tidak ingin menyebut namanya. Aku masih terdiam menyimak.
“Kau mungkin menyadarinya kemarin, Jellal telah berubah.”,
nah ini dia. Aku mencari tahu jawabannya, mungkin gadis ini tahu apa
penyebabnya.
“Tiga bulan sejak berpisah dengan gadis itu, dia berubah
menjadi dingin. Tak pernah tersenyum, aku terima-terima saja dia seperti itu.
Aku tau pasti sulit baginya dipaksa melepaskan gadis yang dicintainya tanpa
memberikan penjelasan apa pun agar sang gadis mengerti.” Ultear tersenyum getir
menjelaskannya. Apa? Melepaskan gadis yang dicintainya? Sang gadis? Siapa yang
dimaksudkannya? “Pasti sulit baginya harus dibenci oleh sang gadis itu.”
“Apa maksudmu?” aku menyela dengan nada tinggi sebelum dia
melanjutkan kata-katanya. Tak bisakah dia mengatakan intinya secara langsung?
Kenapa harus berbelit-belit begitu?
“Akulah yang memaksa Jellal agar meninggalkanmu.”, mataku
membulat sempurna. Pengakuan macam apa ini?
“Aku mengancam Jellal, jika dia tak melepaskanmu, kau tak
akan bisa mengikuti turnamen besar itu. Kau ingat saat kau mengalami kecelakaan
kecil dua minggu sebelum turnamen? Itu karena ulahku. ” Aku langsung menutup
mulutku, syok. Aku ingat, sewaktu di rumah sakit setelah kecelakaan itu, aku
pernah mengatakan pada Jellal kalau impianku semasa SMP adalah mengikuti
turnamen kendo nasional tingkat SMP, entah itu kalah atau menang. Tapi Jellal
yakin kalau aku akan bisa menang karena aku ini ‘buas’, langsung saja aku
menggetok kepalanya dengan buku yang kupegang. Dia meringis kesakitan, lalu
kami tertawa bersama. Untunglah aku bisa mengikuti turnamen itu, walaupun ada
beberapa pihak yang khawatir, termasuk orangtuaku. Tapi Jellal percaya padaku,
kalau aku bisa mengikuti turnamen. Aku berjanji akan memenangkannya demi dia. Dan
sebelum turnamen dimulai, Jellal menemuiku dan menyemangatiku sambil tersenyum,
aku merasakan ada yang aneh pada senyumnya itu. Bukan senyuman lebar yang
kudapatkan darinya. Matanya terlihat sedih. Aku tak ingin berpikir macam-macam
karena harus fokus pada turnamenku.
Akhirnya aku berhasil memenangkan juara putri dan langsung
berlari mencarinya, karena kulihat di deretan penonton ia tak ada. Dan apa yang
kudapatkan di luar gedung, aku melihat Jellal dan Ultear bersama, lalu
kudekati.
“Jellal” mereka berdua menoleh, Ultear langsung menggelayut
di lengan Jellal, menatapku sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tak
memedulikan itu, mungkin hanya perasaanku saja.
“Lihatlah, aku mendapat juara, sama seperti apa yang kau
katakan dulu”, ucapku dengan wajah senang.
“Berhenti, Erza” langkahku terhenti. Kenapa Jellal
menyuruhku berhenti, dan wajahnya menatapku tanpa senyuman, dingin.“Mulai
sekarang kita putus”
JLEB!
Apa yang dia katakan barusan? Telingaku rasanya menangkap
suara yang tidak mengenakkan. Tidak, pasti aku salah dengar.
“Apa yang kau katakan tadi, Jellal? Aku tak bisa
mendengarnya dengan jelas” ucapku dengan suara agak serak.
“Kubilang kita putus! Sejujurnya aku tidak menyukai gadis
tomboy, aku lebih suka gadis feminim seperti Ultear.”
“J-Jellal, k-kau tidak sedang b-bercanda, kan?”, suaraku
mulai parau. Ujung mataku mulai mengeluarkan cairan bening, tapi kutahan agar
tidak keluar.
“Kita akhiri sampai disini”
Dan, kami pun jarang bertemu sejak berakhirnya turnamen itu,
karena turnamen tersebut merupakan turnamen terbesar terakhir di tahun ketigaku
yang bisa aku ikuti. Kami pun sibuk belajar ujian nasional dan ujian masuk. Tak
kusangka kami harus bertemu lagi di sekolah baru. Oh, haruskah aku melihat
pemandangan menyakitkan, melihat mereka selalu berdua? Aku sudah memutuskan
sejak dia meninggalkanku demi wanita lain, membuat hatiku sebeku es.
“Kau tak pantas menghukum Jellal, Erza. Semua itu karena
ulahku. Sewaktu kemarin aku memergoki kalian di halaman sekolah, Jellal
khawatir jika aku melakukan sesuatu yang jahat padamu, maka ia melepaskanmu
begitu saja. Dan setelah kau pergi, aku kembali mengatakan kata-kata yang
sedikit menakut-nakutinya.”
--Normal POV--
“Oh, jadi di belakangku kau berani menghampirinya”
Jellal hanya terdiam.
“Ayolah, Sayang. Kau masih belum bisa melupakannya?” Jellal
masih terdiam, “Tak menjawab?”
“Dia sedang sakit!”, ucap Jellal setengah membentak.
“Hoo sakit? Mau kubuat lebih parah lagi? Kejar dia sekarang.”
Mendengar kata-kata Ultear itu, Jellal langsung membuka
matanya lebar-lebar, menatap tajam ke Ultear seakan berkata ‘Jangan sentuh
dia!’, namun Ultear malah menyunggingkan seulas senyum licik. Jellal menahan
emosinya dengan mengepalkan tangannya tanpa diketahui Ultear.
“Bagus jika kau sudah paham. Sekarang ayo kita pulang”
Ultear menggandeng lengan Jellal.
“Jangan halangi Jellal, Ultear!”
Sebuah suara menghentikan langkah mereka berdua, juga
gelayutan mesra di lengan Jellal.
“Gray?”
“Biarkan dia mengejarnya.”
“Apa yang kau katakan, Gray?” Ultear menatap Gray tajam.
“CUKUP ULTEAR!”, bentak Gray, Jellal dan Ultear terkejut,
“Sudah cukup kau membuat mereka berdua menderita” suara Gray melemah.
“Apa yang kau tau, Gray? Kau tak tau apa-apa. Jellal
milikku” Ultear masih menyangkal semua itu, dengan emosi.
“Aku adalah sepupumu. Jadi aku tau semua tentangmu. Aku
peduli padamu. AKU MENCINTAIMU!” pengakuan Gray membuat Jellal dan Ultear syok,
selama ini Ultear hanya menganggap Gray sebagai sepupunya saja, dan Gray selalu
melindunginya, ia tidak tahu-menahu soal perasaannya. Gray mendekati Ultear dan
memeluknya, Ultear masih membelalakkan kedua matanya tanpa bisa berkata
apa-apa. Tubuh Gray bergetar, menahan cairan bening yang hendak keluar.
“Kumohon Ultear, kembalilah seperti Ultear yang kukenal dulu, Ultear yang
selalu bermain bersamaku, Ultear yang baik hati, periang, dan tak pernah
membuat menderita orang lain. Yang kau lakukan pada Jellal itu bukanlah cinta,
tapi ambisi dan obsesimu saja. Tolong jangan tahan Jellal, biarkan dia bahagia
bersama wanita yang dicintainya. Masih banyak pria lain yang mungkin tak
sesempurna Jellal namun bisa mencintaimu dengan tulus. Aku akan carikan pria
seperti itu untukmu. Aku berjanji! Jadi tolong biarkan Jellal mengejar Erza,
sebelum tubuh gadis itu roboh di tengah jalan.”
Jellal terdiam, masih tercengang. Gray begitu baik padanya,
ia tak pernah menunjukkan wajah cemburu walaupun Jellal tahu ia memiliki
perasaan pada Ultear.
“Gray...”, gumam Ultear dengan lirih, mendengar keseriusan
Gray, yang bahkan berkorban akan mencarikan pria lain, bukan dirinya sendiri,
membuat Ultear yang licik meneteskan air mata.
--Flashback Off—
--Erza POV--
“Aku benar-benar minta maaf padamu, Erza. Sekarang kau bisa
memiliki Jellal sepenuhnya. Jangan membuat pria itu menunggumu di bawah pohon
terlalu lama.” Ucap Ultear dengan senyuman tulus. Di bawah pohon? Apa
maksudnya?
Sesosok pria sedang mendongak ke atas, menatap jendela salah
satu kamar rumah sakit lantai tiga. Di bawah rindangnya pohon, cahaya bulan
memantul dan menerangi wajah tampannya. Kedua tangannya diselipkan di kedua
saku jaketnya. Dengan udara sedingin ini, sudah berapa lama dia berdiri disana?
Sudah berapa lama dia mendongak? Tidak pegalkah?
Aku menyeret kakiku yang masih lemah, dengan membawa tiang
infus yang selangnya masih menempel di punggung tanganku. Menatap terus ke
arahnya, setengah berlari, ingin segera sampai di tempatnya. Hampir sampai di
tempatnya berada. Sayangnya, tak kuperhatikan langkahku, kakiku tersandung akar
pohon yang menyembul ke atas tanah, membuatku terjatuh, mengaduh hingga
menyadarkannya dari lamunan. Ia terkejut, segera saja ia lari ke arahku, dengan
wajah khawatir.
“Apa yang kau lakukan disini?” teriaknya setengah membentak,
memegangi pundakku. Aku masih meringis kesakitan memegangi jemari kakiku yang
sakit sekali, akar pohon itu benar-benar keras.
“Ayo kembali ke kamarmu!” perintahnya, mencoba membantuku
berdiri. Aku mencegahnya dengan mengatakan”Sudah berapa lama kau disana?”
Dia terhenti. Aku bisa tahu kalau dia bingung dengan
pertanyaanku.
“Apakah kau selalu memandangiku dari bawah pohon itu? Apakah
lehermu tidak pegal terus mendongak ke jendela lantai tiga?” Aku menghujaninya
dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya tercengang. Tatapannya seakan
mengartikan ‘kenapa kau bisa tau?’
Tubuhku bergetar, aku mencoba menahan cairan di mataku agar
tidak jatuh, “Kau tidak perlu lagi berkorban untukku” ucapku dengan suara
parau.
“Kenapa kau harus melakukan semua itu? Aku tak masalah jika
harus terluka dan tak bisa berjalan berminggu-minggu, aku tak masalah jika tak
mengikuti turnamen itu. Aku tak masalah jika harus berhenti bermain kendo. Tapi
aku tak bisa kehilanganmu, Jellal. Kau adalah hartaku yang paling berharga!”
aku gagal menahan air mata ini, walaupun tidak sesenggukan. Aku terus menunduk
agar dia tak bisa melihat air mataku ini.
Dia menyentuh daguku, mencoba mengangkat kepalaku agar
menghadapnya. Dia menyeka aliran air mata di pipiku dengan lembut.
Dia...tersenyum? bukan senyum getir atau senyum palsu. Tapi senyum yang begitu
hangat.
“Hei, kenapa kau mengambil kata-kataku?” dia mencibir sebal.
Kata-kata?
“Seharunya aku yang mengatakannya. Kau adalah hartaku yang
paling berharga, Erza”, dia kembali tersenyum. Dia kemudian memelukku.
“Mana bisa aku membiarkanmu jatuh sakit. Kau tau? Sejak
melihatmu kemarin di lorong sekolah saat kau bersama teman-temanmu, aku yang
berhasil terbiasa tanpamu, kembali merasakan rindu yang sangat, sampai aku
ingin sekali melepaskan tangan Ultear dan berlari ke arahmu, dan memelukmu
seperti ini. Ketika kau membagikan senyummu ke pria lain, aku begitu cemburu.
Itu tidak adil, Erza. Untuk melampiaskannya, makanya aku mengatakan agar kau
segera mencari kekasih baru, agar kita impas.”
Sudah lama sekali sejak tiga bulan, benar-benar rindu. Di
tengah udara dingin ini, tubuhnya benar-benar hangat.
“Aku berjanji tak akan pernah melepaskanmu lagi, Erza. Kau
adalah yang pertama dan terakhir.”
“Jellal...”
FIN~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar